Rahmatullah - Semoga aksi ini bukan hanya sekedar tindakan reaktif, walau ia terbangun dari kesadaran yang mungkin di dasari oleh "emosional".
Kesadaran yang muncul karena "merasakan" permusuhan dari orang-orang kafir dan para peliharaannya, yang secara nyata memperlihatkan keculasannya pada ummat ini, khususnya di Gaza, Palestina.
Saat ini, yang tak kalah penting adalah bagaimana menjaga dan menumbuh besarkan kesadaran yang Allah SWT beri serta memberinya kekuatan, karena yang memusuhi ummat Islam sangat besar.
Untuk itu kita harus mampu membangun "kemandirian", sebuah kekuatan yang tidak hanya berlandaskan pada ekonomi, tapi juga mental, aqidah, persaudaraan dan strategi.
Dari segi mental, mulailah berusaha mengurang-ngurangi kebutuhan.
Perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel sanggup kehilangan jutaan pelanggannya untuk menunjukkan keberpihakannya, maka kita harus lebih sanggup lagi untuk tidak menggunakan produknya, untuk menghancurkan penghinaan musuh terhadap Allah.
Untuk hal ini mungkin kita patut mencontoh sikap Raja Faisal dari Saudi Arabia, yang pada tahun 70-an mengembargo kiriman minyak ke amerika, dengan menyatakan;
"kami tidak butuh minyak, kami cukup hidup dengan segenggam kurma"
Demi Allah! musuh akan sangat menderita saat kita mencukupkan diri hanya hidup dengan segenggam beras!
Perbaiki Aqidah kita dengan perkuat rasa sabar dan meningkatkan rasa syukur.
Seberapa besarpun hitung-hitungan angkanya, tidak akan pernah memuaskan nafsu kita, nafsu hanya bisa dikendalikan dengan rasa sabar dan syukur atas segala sesuatu yang Allah beri.
Dengan begitu, mentalitas "rasa cukup" atas apa adanya, akan tumbuh dan menjadi kekuatan tiada banding tanpa tanding.
Akan tetapi untuk menghadapi musuh, tidak cukup hanya dengan kekuatan abstrak (Aqidah dan mental), kita juga harus membangun kekuatan real lainnya.
Kekuatan ekonomi yang mungkin pertama sekali kita bangun adalah ketersedian atau pemenuhan kebutuhan pangan dan segala sesuatu yang berkenaan dengannya.
Kemandirian atas kebutuhan pangan akan menghilangkan sebagian besar intervensi musuh dalam kehidupan kita.
Dikarenakan kebutuhan pangan kita yang utama adalah beras, maka ada 3 sektor strategis yang harus kita kuasai.
1. Menguasai Pemasaran Hasil Pertanian (beras) dari Petani
Memutus jalur distribusi yang mungkin akan mengarahkan hasil tanam ke orang-orang kafir.
2. Produksi Beras Alternatif
Masih ingat "kasus beras berbahan baku plastik" yang berasal dari cina?
Atau masih ingat beras dari singkong yang pernah ditawarkan ke masyarakat jaman sby?
Jadi sangat mungkin beras diproduksi secara "pabrikan" (insyaa Allah kita sudah menguasai teknologinya).
Jika "pabrikan" beras bisa kita lakukan secara home industri, dengan setiap kecamatan ada 2 s/d 5 "pengusaha beras", InsyaAllah kebutuhan pangan kita akan pangan terpenuhi secara mandiri dengan mudah.
3. Teknologi Pertanian Tepat Guna
Sempitnya lahan pertanian setelah wilayah lumbung padi seperti kerawang, cikarang, disusul oleh sukabumi, cianjur menjadi ladang beton pabrik-pabrik gak jelas, saatnya kita menggunakan teknologi sederhana untuk memaksimalkan lahan yang ada dan menjadikan lahan-lahan mati menjadi lahan produktif untuk pangan.
Pertanian hidroponik, sangat mungkin menghasilkan beras hidroponik, dan kita sudah ada yang berhasil melakukannya.
Teknologi hidroponik bukan lagi hal aneh, sangat mungkin dilakukan di lahan-lahan sempit dan tidak produktif, tidak butuh perawatan intensif, sehingga sangat mungkin semua kita menjadi petani yang menghasilkan pangan mandiri.
Ini semua butuh kerja sama dengan rasa persaudaraan yang saling menjaga dengan landasan iman, sehingga sistem bisnis real yang kita bangun bersih dari cara-cara yahudi, seperti penipuan dalam timbangan dan riba.
Dengan kekuatan mandiri, kita bisa pastikan bahwa dana-dana yang kita keluarkan akan mengalir ke saudara-saudara kita seiman.
Dari sini bisa kita ambil kesimpulan, Boikot berarti;
- Penghematan besar-besaran, mengeluarkan dana hanya untuk sesuatu yang benar-benar saya, kita butuhkan.
- Memperkecil kebutuhan hidup.
- Membangun kekuatan ekonomi mandiri.
*Tulisan ini diambil dari catatan pribadi saat Kajian RMI tahun 2017 oleh Ustadz MC. Amino Sitohang dengan sedikit penyesuaian atas isu yang saat ini berkembang
0Komentar